PROPOSAL PENELITIAN IMPLEMENTASI E-PROCUREMENT DI PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Era demokrasi saat ini
menjadikan proses partisipasi masyarakat sebagai tolok ukur bagi pemerintah
dalam melaksanakan pemerintahan. konsep Kepemerintahan yang baik (good
governance) merupakan cita-cita dan harapan bangsa Indonesia. Governance
menunjukkan suatu proses ketika rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi, dan
sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan,
tetapi juga untuk menciptakan kohesi,
integrasi, dan kesejahteraan rakyat. Upaya Pemerintah Indonesia dalam
mewujudkan good governance, harus
melibatkan sektor swasta dan masyarakat.
Tata pemerintahan yang baik
dan bersih (Good Governance dan clean Government) adalah seluruh aspek yang
terkait dengan kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan yang dimiliki
Pemerintah dalam menjalankan fungsinya melalui institusi formal dan informal. Untuk
melaksanakan prinsip good governance dan clean government, maka Pemerintah
harus melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya
secara efisien, serta mewujudkannya dengan tindakan dan peraturan yang baik dan
tidak berpihak (independen), serta menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan
sosial antara para pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan,
profesional dan akuntabel.
Peningkatan kualitas
pelayanan publik melalui penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, perlu
didukung dengan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan keuangan
negara/daerah yang dibelanjakan melalui proses pengadaan barang/jasa
pemerintah, diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan, transparansi,
akuntabilitas serta prinsip persaingan /kompetisi yang sehat dalam proses
pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari Anggaran, Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga
diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi
kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat.
Percepatan pelaksanaan
pembangunan yang menjadi tanggungjawab Pemerintah perlu didukung oleh
percepatan pelaksanaan belanja, baik belanja negara maupun belanja daerah, yang
dilaksanakan melalui pengadaan barang/jasa Pemerintah. Namun dalam pelaksanan
pengadaan barang/jasa kadang kala ditemukan kendala yang disebabkan oleh
beberapa hal, antar lain ; perencanaan pengadaan barang/jasa yang kurang baik,
pengesahan anggaran terlambat, tidak segera dilaksanakannya pengumuman
pelaksanaan pemilihan penyadia, hingga belum meratanya kompetensi dari pengelola
pengadaan.
Berbagai usaha dan inovasi
telah dilakukan untuk mencari model yang lebih efektif dalam mewujudkan
kepemerintahan yang baik (good governance),
salahsatunya dengan cara melakukan segala kegiatan pemerintahan ataupun
pelayanan publik melalui pemanfaatan teknologi informasi atau electronic
government (e-government).
Kendala dalam pelaksanaan
pengadaan barang/jasa pemerintah salah satunya dapat diatasi dengan pemanfaatan
teknologi informasi dalam proses pelaksanaannya. Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
yang efisien dan efektif merupakan salah satu bagian yang penting dalam rangka
peningkatan proses pengelolaan keuangan Negara yang merupakan bagian dari
implementasi good governance Salah
satu perwujudannya adalah dengan pelaksanaan proses pengadaan barang dan jasa
pemerintah secara elektronik, yaitu pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan
dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Pemanfaatan teknologi informasi selain bertujuan
untuk memperingan beban pengelola pengadaan barang/jasa pemerintah juga
bertujuan untuk tetap menjaga sisi akuntabilitas dalam pelaksanaan pengadaan
barang/jasa Pemerintah.
Filosofi mendasar penerapan
e-procurement adalah untuk mengubah kegiatan, dari kegiatan klerikal atau
administrasi teknis operasional menjadi kegiatan bersifat manejerial yang lebih
profesional. Seiring dinamika reformasi dan tuntutan keterbukaan/transparnsi
serta kepemerintahan yang baik dan bersih. Pengadaan barang/jasa Pemerintah
yang melibatkan pemerintah sebagai pengguna barang/jasa, pihak swasta sebagai
penyedia barang/jasa dan masyarakat sebagai penerima manfaat merupakan
perwujudan nyat dari penerapan Good Governance.
E-procurement merupakan
proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilakukan secara elektronik
terutama berbasis web atau internet. Instrument ini memanfaatkan fasilitas
teknologi komunikasi dan informasi meliputi pelelangan secara elekrtonik yang
diselenggarakan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Kebijakan implementasi
e-procurement dilakukan dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan kemajuan
teknologi informasi untuk mewujudkan good governance melalui pengadaan barang
dan jasa yang efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif
dan akuntabel yang merupakan penerapan prinsip-prinsip pengadaan barang dan
jasa. Efektifitas pengadaan barang/jasa di Indonesia. Hal ini juga berkorelasi
terhadap peningkatan dan efisiensi pengelolaan anggaran terkait dengan proses
pengadaan barang dan jasa pemerintah mengingat kurang lebih 30% dari alokasi
anggaran pemerintah setiap tahunnya adalah untuk kegiatan barang dan jasa.
Pemberlakuan Peraturan
presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah termasuk
perubahannya, yang merupakan penyempurnaan dari peraturan pengadaan barang/jasa
pemerintah sebelumnya, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam bidang pengadaan barang/jasa, yang efisien,
terbuka dan kompetitif yang diharapkan ketersediaan barang/jasa yang terjangkau
dan berkualitas.
Dengan menerapkan
prinsip-prinsip pengadaan efisien, efektif, transparan, keterbukaan, bersaing,
adil/tidak diskriminatif dan akuntabel akan meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap proses pengadaan barang/jasa, karena hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dari segi administrasi, teknis dan
keuangan.
a.
Efisien, berarti
pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang
minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau
menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan
kualitas maksimum;
b.
Efektif, berarti
pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah
ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya;
c.
Transparan,
berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat
jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang/jasa yang berminat
serta oleh masyarakat pada umumnya;
d.
Terbuka, berarti
pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang
memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang
jelas;
e.
Bersaing,
berarti pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat
diantara sebanyak mungkin penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi
persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang ditawarkan secara
kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar
dalam pengadaan barang/jasa;
f.
Adil/tidak
diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia
barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu,
dengan tetap memperhatikan kepentingan
nasional;
g.
Akuntabel,
berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan
barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Di Kabupaten Nunukan
pengadaan secara elektronik mulai dilaksanakan berdasarkan surat keputusan
bupati pada tahun 2011 tentang
Pembentukan Tim operasional Layanan Pengadaan Secara Elektronik Kabupaten
Nunukan Tahun Anggaran 2011, tujuan dari pembentukan tim tersebut adalah untuk
menciptakan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik di Kabupaten
Nunukan yang efektif dan efisien yang merupakan salah satu bagian penting dalam
perbaikan dan pengelolaan keuangan.
Dalam pelaksanaan
operasional layanan pengadaan secara elektronik di Kabupaten Nunukan ditahun
2015, dilaksanakan penyusunan program pengelolaan e-procurement dilingkungan
Pemerintah Kabupaten Nunukan dan melakukan ketatausahaan, evaluasi dan
pelaporan pengadaan barang/jasa secara elektronik
Berdasarkan pada uraian-uraian diatas
maka penulis tertarik untuk meneliti lebih mendalam mengenai “Implementasi e-procurement
di Pemerintah Kabupaten
Nunukan”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang seperti yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut : “Bagaimana
Implementasi e-Procurement di Pemerintah Kabupaten Nunukan?”
C.
Tujuan
Penelitian
a)
Untuk mengetahui kondisi implementasi e-procurement di Kabupaten
Nunukan;
b)
Untuk mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat pada
implementasi e-procurement di Kabupaten Nunukan.
D. Kegunaan
Penelitian
a.
Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan menambah pemahaman dan
sebagai bahan referensi dalam penelititan selanjutnya tentang implementasi
e-procurement di Pemerintah Kabupaten Nunukan.
b.
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam memperbaiki dan pengembangan kebijakan pelaksanaan e-procurement di
Pemerintah Kabupaten Nunukan
.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian yang telah dilakukan lebih dahulu
oleh peneliti lain, dan memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti, antara lain :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Eti wahyuningsih,
Wijaya Kusuma dan Martoyo, pada tahun 2013 dengan judul : Implementasi
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah pada Kantor Badan Pemberdayaan Perempuan,
Anak, Masyarakat dan Keluarga Berencana (BP2AMKB) Provinsi Kalimantan Barat. Di
Magister Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas
Tanjungpura Pontianak.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan masih
belum optimal dikarenakan belum terelisasinya pelaksanaan pengadaan sesuai
jadwal yang telah ditentukan pelaksanaannya, kurangnya pemahaman stakeholders
terhadap Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa
Pemerintah.
Persamaan
dengan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengkaji, mengetahui dan
mengalisa untuk mengetahui faktor pendukung dan factor penghambat pada
implementasi e-procurement berdasarkan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010.
Sedangkan
perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, waktu dan lokasi
penelitian serta Sri Eti Wahyuningsih dkk, hanya membatasi pada subjek
pengadaan langsung dan tidak meneliti mengenai e-procurement.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Ndikron, Margaretha
Suryaningsih, dan R. Slamet Santoso dengan judul : Implementasi
E-procurement di Universitas Diponegoro.
Di Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Diponegoro.
Hasil
penelitian menunjukkan kondisi implementasi e-procurement di lokus belum
sepenuhnya berjalan dengan baik, walaupun sudah menerapkan aturan mengenai
penyelenggaraan e-procurement. Diakibatkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman
dari penyedia jasa mengenai pihak-pihak yang menjadi implementator dalam
kebijakan e-procurement, banyaknya kendala dalam penerapan program kebijakan
e-procurement seperti server error, gangguan internet. Publik dan masyarakat masih banyak belum
mengerti dan acuh terhadap kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik.
Dan belum maksimalnya kesiapan stakeholders, baik dari penyedia jasa,
masyarakat, dan implementator mengenai perangkat pendukung seperti
infrastruktur.
Persamaan
dengan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengkaji, mengetahui dan mengalisa
untuk mengetahui faktor pendukung
dan factor penghambat pada implementasi e-procurement berdasarkan Peraturan
Presiden nomor 54 tahun 2010. Menggunakan teori implementasi kebijakan yang
sama dan teori model George C. Edward III.
Sedangkan
perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, waktu dan lokasi
penelitian.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Arindra Rossita Arum
Nurchana, Bambang Santoso Haryono, Romula Adiono dengan judul : Efektivitas
E-procurement dalam Pengadaan Barang/Jasa (Studi terhadap Penerapan
E-procurement dalam Pengadaan Barang/Jasa di Kabupaten Bojonegoro. Di Jurusan
Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan
e-procurement dalam pengadaan barang/jasa di lokus dapat dikatakan kurang
efektif dikarenakan terdapat satu tujuan yang belum tercapai secara maksimal,
yaitu peningkatan persaingan usaha yang sehat.
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah
untuk mengkaji, mengetahui dan mengalisa untuk
mengetahui faktor pendukung dan factor
penghambat pada implementasi e-procurement berdasarkan Peraturan Presiden nomor
54 tahun 2010.
Sedangkan
perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, waktu dan lokasi
penelitian serta membahas mengenai efektifitas pengadaan barang/jasa dan tidak
meneliti mengenai implementasi e-procurement.
4. Penelitan yang dilakukan oleh Kadek Lori Pramasari
dengan judul : Penerapan system e-procurement dalam Tata Kelola Pengadaan
Barang dan Jasa (Studi Kasus ; Badan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
Kota Denpasar) di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Udayana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan sistem
elektronik procurement di lokus merupakan suatu upaya untuk mewujudkan proses
pengadaan barang dan jasa pemerintah yang lebih efisien dan transparan, serta
untuk mencegah korupsi.
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah
implementasi e-procurement berdasarkan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010.
Sedangkan
perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, waktu, teori yang
digunakan dan lokasi penelitian serta penelitian dilaksanakan untuk mengetahui
manfaat dan kendala e-procurement.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Farisa Noviyanti dengan
judul : Peran LPSE dalam Peningkatan Efisiensi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
di SDDIV Akuntansi Kurikulum Khusus, Sekolah Tinggi Administrasi Negara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peraturan Presiden
nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diterapkan
melalui pengadaan secara elektronik terbukti mampu mengeliminir tantangan dalam
bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah. Aplikasi pelelangan elektronik
memberikan kemudahan bagi penyedia untuk memantau paket-paket yang akan
ditenderkan. Perkembangan pesat e-procurement kedepan dapat mewujudkan
reformasi pengadaan, perbaikan tata kelola pemerintahan yang profesional
dibidang pengadaan
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah
untuk mengkaji, mengetahui dan mengalisa peran dan implementasi e-procurement berdasarkan
Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010.
Sedangkan
perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, waktu dan lokasi
penelitian serta teori yang digunakan.
B. Kajian
Teori
a. Implementasi
Kebijakan
Penelitian tentang implementasi kebijakan adalah
penelitian tentang bagaimana suatu kebijakan diterapkan. Implementasi kebijakan
adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Implementasi
kebijakan yang telah melalui tahap rekomendasi merupakan prosedur yang relatif
kompleks, sehingga tidak selalu ada jaminan bahwa kebijakan tersebut akan
berhasil dalam penerapannya. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat terkait
dengan beberapa aspek, diantaranya; pertimbangan para pembuat kebijakan,
komitmen dan konsistensi para pelaksana kebijakan, dan perilaku sasaran.
Menurut
Riant Nugroho (2014, 240) kebijakan
publik adalah titik temu kepentingan dua pelaku yaitu Negara dan
masyarakat. Untuk menilai implementasi kebijakan publik, hal yang perlu
diperhatikan adalah mengenai prinsip-prinsip dasar bagi implementasi kebijakan
yang efektif. Riant Nugroho (2011:650) mengemukakan bahwa pada dasarnya ada
“lima tepat” yang perlu dipenuhi dalam
hal keefektifan implementasi kebijakan, meliputi :
1.
Ketepatan
Kebijakan, merupakan jawaban dari pertanyaan “seberapa bagus kebijakan”.
Ketepatan kebijakan yang dinilai dengan
seberapa banyak masalah yang ada dalam kebijakan yang perlu diselesaikan.
2.
Ketepatan
Pelaksanaan atau ketepatan pengimplementasi, dengan berdasarkan empat kategori
pengimplementasi kebijakan; Pemerintah sendiri, pemerintah sebagai aktor yang
dominan dan masyarakat sebagai partner minoritas, pemerintah sebagai minoritas
dan masyarakat sebagai aktor dominan dan masyarakat sendiri.
3.
Ketepatan Target,
target kebijakan yang tepat membahas tiga isu yang relevan; apakah target
sesuai dengan target dalam kebijakan yang direncanakan? Apakah ada tumpang
tindih target? Dan konflik dengan target kebijakan lain?
4.
Ketepatan
lingkungan, ada dua lingkungan yang menentukan; pertama adalah lingkungan
dimana ada interaksi antara institusi perumus kebijakan dan pengimplementasi.
Lingkungan kedua adalah lingkungan eksternal kebijakan yang disebutkan Calista
dalam Riant Nugroho (2014, 242) sebagai variabel eksogen yang terdiri dari
opini publik; persepsi publik terhadap kebijakan dan implementasinya,; intuisi
interpretasi-interpretasi lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media
massa, kelompok kepentingan terhadap kebijakan dan implementasinya; serta
individu-individu tertentu yang mempunyai nperan dan strategis untuk
menginterpretasikan kebijakan dan implementasinya.
5.
Ketepatan Keputusan,
pada umumnya implementasi kebijakan meliputi tiga langkah; 1) penerimaan
kebijakan; 2) adopsi kebijakan; dan 3) kesiapan strategis.
b. Model Teori
George C. Edward III
George C. Edward III dalam
Riant Nugroho (2014, 225), mencatat bahwa isu utama kebijakan publik adalah
kurangnya perhatian kepada implementasi kebijakan publik. Dinyatakan dengan
tegas bahwa tanpa implementasi yang efektif, keputusan pembuat kebijakan tidak
akan berhasil dilakukan.
Pada model implementasi
George C. Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel kritis
sebagai faktor penentu keberhasilan suatu implementasi, yaitu; Komunikasi, Sumber
daya, Disposisi (sikap kecenderungan) , dan Struktur Birokrasi.
Adapun secara terperinci
Edwards III dalam Dyah Mutiarin dkk, (2014, 38) menjelaskan keempat faktor
tersebut sebagai berikut :
1.
Komunikasi
adalah hal bagaimana kebijakan dikomunikasikan kepada publik untuk memperoleh
respon dari berbagai pihak-pihak yang terlibat. Agar implementasi dapat
efektif, penanggungjawab implementasi sebuah keputusan harus mengetahui apa
yang mesti dilakukan, perintah untuk mengimplementasikan kebijakan harus
disampaikan kepada personal yang tepat dan perintah harus jelas, akurat, dan
konsisten.
Untuk
menjamin keberhasilan implementasi kebijakan, pelaksana harus mengetahui apa
yang harus dilakukannya berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Juga
kelompok sasaran kebijakan harus diinformasikan mengenai apa yang menjadi
tujuan dan sasaran kebijakan. Berguna untuk menghindari adanya resitensi dari
kelompok sasaran. Dengan demikian untuk kepentingan tersebut perlu dilakukan
sosialisasi dalam berbagai cara, diantaranya; melalui media cetak ataupun media
elektronik.
Dalam
komunikasi terdapat tiga aspek utama, yaitu; transmisi (transmission),
kejelasan (clarity), dan konsistensi.
2.
Sumber daya
adalah menyangkut ketersediaan yang cukup, khususnya kompetensi sumber daya
manusia dan kapabilitas untuk melakukan kebijakan secara efektif. Implementasi
kebijakan tidak akan efektif apabila para implementor kekurangan sumber daya
yang penting untuk melaksanakan kebijakan. Edwards III dalam Dyah Mutiarin dkk
(2014, 40) menyampaikan bahwa perintah implementasi mungkin ditransmisikan
secara tepat, jelas dan konsisten, namun jika kekurangan sumber daya maka
biasanya implementasi tidak efektif.
Tanpa
sumber daya yang memadai, implementasi kebijakan tidak akan berjalan secara
optimal. Sumber daya sebagai pendukung implementasi kebijakan dapat berwujud
sumber daya manusia yakni kompetensi implementor, dan sumber daya finansial. Sumber
daya yang penting untuk implementasi kebijakan meliputi staf dengan jumlah yang
sesuai dengan keahlian yang memadai dan relevan dengan implementasi kebijakan,
kewenangan dan fasilitas.
3.
Disposisi yang dimaksud adalah menyangkut watak, dan
karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran,
sifat demokratis, dsb. Dalam hal ini kesediaan aktor untuk melakukan
implementasi kebijakan. Disposisi adalah mengenai komitmen, lebih dari
kompetensi dan kapabilitas. Jika para actor pelaksana bersikap baik terhadap
suatu kebijakan, maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan
sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian juga sebaliknya
apabila sikap-sikap dan perspektif implementor berbeda dari pembuatan
keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit.
Disposisi
yang dimiliki oleh implementor menjadi salah satu variabel penting dalam
implementasi kebijakan.
Beberapa
kebijakan masuk ke dalam zone of indifference dari para administrator.
Kebijakan-kebijakan tersebut mungkin merupakan konflik dengan pandangan kebijakan
substansi implementor atau kepentingan pribadi/organisasinya. Dalam hal inilah
disposisi menimbulkan hambatan implementasi.
Kecenderungan
– kecenderungan mungkin menghalangi implementasi kebijakan bila implementor
benar-benar tak setuju dengan substansi suatu kebijakan. Unit-unit birokrasi
yang berbeda mungkin mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda mengenai
kebijakan. Ketidaksepakatan dalam dan antara badan-badan menghalangi kerjasama
dan menghambat implementasi dalam suatu bidang kebijakan. Masing-masing badan
terkait mungkin memiliki prioritas–prioritas yang berbeda, komitmen yang
berbeda, dan cara penanggulangan masalah yang berbeda Edwars III dalam Dyah
Mutiarin dkk (2014, 42).
4.
Struktur birokrasi,
birokrasi merupakan struktur organisasi yang bertugas untuk mengimplementasikan
kebijakan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap implementasi kebijakan. Dalam
hal tantangan agar tidak menjadi fragmentasi birokrasi, karena menurunkan
efektifitas implementasi kebijakan. Menurut Edwards III dalam Dyah Mutiarin dkk
(2014, 24) struktur yang tepat dapat memberikan dukungan kuat terhadap
kelancaran implementasi kebijakan. Terdapat dua hal penting dalam struktur
birokrasi yaitu prosedur-prosedur kerja standar (Standard operating procedures)
dan fragmentasi (fragmentation).
a.
Standard
Operating Procedures (SOP), SOP dikembangkan sebagai respon internal terhadap
keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan keinginan untuk
keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar
luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk situasi tipikal di masa lalu
mungkin menghambat perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan situasi
atau program baru. SOP sangat mungkin
menghalangi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja
baru atau tipe-tipe personal baru untuk
mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan
dalam cara-cara rutin dari suatu organisasi, semakin besar probabilitas SOP
dapat menghambat implementasi. Meskipun SOP dapat menyebabkan masalah-masalah
implementasi, manun SOP juga memiliki kegunaan. Organisasi-organisasi dengan
prosedur perencanaan yang fleksibel dan control yang memadai atas
program-program fleksibel dapat lebih beradaptasi terhadap tanggung jawab baru
daripada birokrasi tanpa karakteristik seperti ini Edwards III dalam Dyah
Mutiarin dkk (2014, 43).
b.
Fragmentasi,
berasal dari tekanan – tekanan di luar unit – unit birokrasi, seperti komisi – komisi legislatif, kelompok kepentingan, pejabat
eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan, dan sifat kebijakan yang
mempengaruhi organisasi birokrasi publik.
Edwards
III dalam Dyah Mutiarin dkk (2014, 43) menyatakan fragmentasi adalah penyebaran
tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di antara beberapa unit
organisasi. Semakin banyak aktor-aktor dan badan-badan yang terlibat dalam
suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan keputusan-keputusan
mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan implementasi. Menurut Edwards
III dalam Dyah Mutiarin dkk (2014,44) fragmentasi berimplikasi terhadap
definisi tanggung jawab, dan hal ini akan membuat koordinasi kebijakan menjadi
sulit. Sumber-sumber dan kewenangan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah
secara komprehensif seringkali terdistribusi di antara banyak unit-unit
birokrasi. Semakin koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan,
semakin kecil peluang untuk berhasil.
Faktor-faktor
tersebut disamping secara langsung mempengaruhi implementasi, secara tidak
langsung mereka juga mempengaruhi implementasi melalui dampak/pengaruh satu
terhadap lainnya.
c. E-procurement
Pada prinsipnya pengadaan barang/jasa pemerintah adalah proses yang
dilakukan pemerintah untuk mendapatkan barang/jasa dengan institusi publik
secara transparan, efisien, efektif, adil, terbuka, bersaing dan akuntabel
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya yang diperuntukkan bagi
publik dan masyarakat atau kelompok masyarakat.
Semua pengadaan yang sumber dananya dari pemerintah, baik dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD),
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah yang dibebankan pada APBN atau
APBD , pinjaman atau hibah dalam negeri, dan
pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) dikategorikan pengadaan pemerintah
yang seluruh kegiatan dan proses pengadaannya haru mengacu dan mengikuti
Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
beserta perubahannya.
Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik atau E-Procurement adalah
pengadaan barang/jasa yang mengikuti ketentuan Peraturan Presiden tentang
pengadaan barang/jasa Pemerintah dan dilaksanakan dengan menggunakan teknologi
informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik digunakan sebagai
alat yang secara signifikan dapat mengurangi biaya dalam proses pengadaan. E-procurement
bertujuan merampingkan proses pembelian dengan menghilangkan paper based. Penerapan
e-procurement disektor publik pada awalnya diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi organisasi publik. E-procurement pada gilirannya juga dapat
diharapkan dapat membangun pasar nasional berbasis internet (oliviera dan
Amorin, 2001), namun aplikasi e-procurement dalam pemerintahan selain untuk
efisiensi, juga ditujukan untuk meningkatkan efektivitas, keadilan, transparansi,
dan kesetaraan. E-procurement didefinisikan antara lain :
1. Menurut Kantor Manajemen informasi Pemerintah
Australia (Australian Government Information Management, AGIMO):
“e-procurement merupakan pembelian antar-bisnis
(business to business, B2B) dan penjualan barang dan jasa melalui internet”
2. Menurut Wikipedia :
“e-procurement merupakan pembelian antar-bisnis
(business to business, B2B) dan penjualan barang dan jasa melalui internet
maupun system-sistem informasi dan jaringan lain.
Awal mula penerapan
e-procurement di Indonesia diinisiasi dalam Keputusan Presiden nomor 80 tahun
2003 bahwa setaip instansi mulai diperbolehkan menggunakan teknologi informasi
dalam pengadaan. Selanjutnya pada tahun 2004, melalui Instruksi Presiden nomor
5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan Menko
Perekonomian diperintahkan melakukan ujicoba pelaksanaan e-procurement untuk
kemudian dipergunakan bersama instansi pemerintah lainnya.
Pada
tahun dikeluarkan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, yang lebih menekankan penggunaan pengadaan secara
elektronik yang dibahas secara khusus pada BAB XIII Pengadaan secara
Elektronik. Didalamya memuat ketentuan umum pengadaan secara elektronik, yaitu
pengadaan dapat dilakukan secara elektronik dengan cara E-tendering atau
E-purchasing.
E-Tendering adalah tata cara pemilihan penyedia
barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia
barang/jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan cara
menyampaikan 1 (satu) kali penawaran dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan
E-Purchasing adalah tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog
elektronik, yang menggunakan aplikasi SPSE yaitu aplikasi perangkat lunak
sistem pengadaan secara elektronik (SPSE) berbasis web yang terpasang di server
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang dapat diakses melalui website
layanan pengadaan secara elektronik untuk pelaksanaan e-purchasing.
Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah secara elektronik atau e-procurement bertujuan untuk
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas; meningkatkan akses pasar dan
persaingan usaha yang sehat; memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan;
mendukung proses monitoring dan audit; dan memenuhi kebutuhan akses informasi
yang real time.
Kemudian
dibentuk suatu lembaga baru yaitu Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah disingkat LKPP yang bertugas untuk mengembangkan Sistem Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik. LKPP menetapkan arsitektur sistem
informasi yang mendukung penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secar
elektronik.
Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah adalah Lembaga Pemerintah yang bertugas mengembangkan
dan merumuskan kebijakan Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Presiden nomor 106 tahun 2007 tentang lembaga Kebijakan pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
Pelaksanaan E-tendering
mempunyai ruang lingkup meliputi pengumuman pengadaan barang/jasa sampai dengan
pengumuman pemenang. E-tendering dilaksanakan dengan menggunakan sistem
pengadaan secara elektronik yang diselenggarakan oleh Layanan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE).
Aplikasi e-tendering
sekurang-kurangnya memenuhi unsur perlindungan hak atas kekayaan intelektual
dan kerahasiaan dalam pertukaran dokumen, serta tersedianya sistem
keamanandalam penyimpanan dokumen elektronik yang menjamin dokumen elektronik
tersebut hanya dapat dibaca pada waktu yang telah ditentukan.
Sistem e-tendering yang diselenggarakan oleh LPSE
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.
Mengacu pada
standar yang meliputi interoperabilitas dan integrasi dengan sistem Pengadaan
Barang/Jasa Secara Elektronik;
b.
Mengacu pada
standar proses pengadaan secara elektronik; dan
c.
Tidak terikat
pada lisensi tertentu (free lincensi).
Penggunaan E-purchasing
dilakukan dengan sistem katalog elektronik (e-catalogue) yang
sekuirang-kurangnya memuat informasi teknis dan harga barang/jasa. Sistem
katalog ini juga diselenggarakan oleh LKPP.
Katalog
elektronik atau E-Catalogue adalah sistem informasi elektronik yang memuat
daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai
penyedia barang/jasa Pemerintah.
Berdasarkan surat edaran
Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia
(LKPP) tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui E-Purchasing,
dijelaskan bahwa Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
Wajib melakukan e-purchasing terhadap barang/jasa yang sudah dimuat dalam
sistem.
Layanan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE) merupakan unit kerja yang dibentuk oleh
Kementerian/Lembaga/Daerah/Instansi (K/L/D/I) untuk menyelenggarakan sistem
pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik (SPSE) dan memfasilitasi
Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi kepada Portal Pengadaan Nasional.
Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/kota diwajibkan untuk membentuk 1 (satu) LPSE untuk memfasilitasi ULP
dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Setiap LPSE wajib
menyusun dan melaksanakan standar prosedur operasional seerta menandatangani
kesepakatan tingkat pelayanan (service level agreement) dengan LKPP sebagi
induk dari pengadaan elektronikdi Indonesia sekaligus merupakan standar baku
pelayanan kepada masyarakat.
LPSE mempunyai tugas
meliputi :
d.
Memfasilitasi
PA/KPA mengumumkan rencana umum pengadaan;
e.
Memfasilitasi
ULP menayangkan pengumuman pelaksanaan pengadaan;
f.
Memfasilitasi
ULP/Pejabata Pengadaan melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa secara
elektronik;
g.
Memfasilitsasi
penyedia barang/jasa dan pihak-pihak yang berkepentingan menjadi pengguna SPSE;
h.
Melaksanakan
tugas lain yang diberikan oleh pimpinan K/L/D/I.
LPSE juga melaksanakan fungsi meliputi :
a.
Penyusunan
program kegiatan, ketatausahaan, evaluasi dan pelaporan pengelolaan pengadaan
barang/jasa secara elektronik dilingkungan K/L/D/I;
b.
Pengelolaan
SPESE dan infrastrukturnya;
c.
Pelaksanaan
registrasi dan verifikasi pengguna SPSE;
d.
Pelaksanaan
pelayanan pelatihan dan dukungan teknis pengopeerasian SPSE.
Bentuk
organisasi LPSE ditekankan untuk memisahkan unit kerja yang melaksanakan fungsi
ULP untuk menghindari pertentangan kepentingan.
Sistem Pengadaan Secara
Elektronik (SPSE) adalah sistem meliputi aplikasi perangkat lunak (aplikasi
SPSE) dan database E-Procurement yang dikembangkan oleh LKPP untuk digunakan
oleh SPSE dan infrastrukturnya.
SPSE dikembangkan oleh LKPP
bekerjasama dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Lembaga Sandi Negara mengembangkan Aplikasi
Pengamanan Dokumen (APENDO). Sub sistem e-audit dikembangkan bekerjasama dengan
BPKP yang memungkinkan SPSE mengeluarkan informasi detail tentang proses lelang
untuk keperluan audit.
Untuk dapat mengikuti tender
melalui LPSE, penyedia harus mendaftar pada masing-masing unit layanan
pengadaan secara elektronik terdekat tempat penyedia berdomisili.
Penyelenggaraan pelelangan
secara elektronik dilaksanakan oleh unit layanan pengadaan yang dibentuk oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Kepala Institusi. Jadi Unit Layanan
Pengadaan (ULP) adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan
pengadaan barang/jasa di Kementerian/Lembaga /Daerah /Instansi yang bersifat
permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.
Pembentukan ULP merupakan kewajiban bagi setiap K/L/D/I diseluruh Indonesia
untuk dapat memberikan pelayanan/pembinaan dibidang Pengadaan Barang/Jasa.
Portal Pengadaan Nasional
adalah pintu gerbang sistem informasi elektronik yang terkait dengan informasi
pengadaan barang/jasa secara nasional yang dikelola oleh LKPP.
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
A. Desain
Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian Kualitatif
bersifat deskriptif, untuk menggambarkan kondisi implementasi e-procurement di
Kabupaten Nunukan dengan mengacu pada Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/jassa Pemerintah sebagaimana telah diubah oleh
Peraturan Presiden nomor 35 tahun 2011, dan Peraturan Presiden nomor 70 tahun
2012 serta Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015, Undang – Undang Republik
Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),
melalui penelitian ini akan diperoleh informasi mengenai implementasi
e-procurement di Kabupaten Nunukan melalui berbagai metode seperti wawancara,
pengamatan dan pemanfaatan dokumen yang diperoleh dari informan yang tersedia
B. Sumber
Informasi dan Pemilihan informan
Sumber informasi berasal dari Bagian Layanan Pengadaan
Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Nunukan, Kepala LPSE, Kepala ULP, Sekretaris
ULP, Staf LPSE, Penyedia (kontraktor), Ketua Asosiasi Pengusaha di Kabupaten
Nunukan.
Dalam pengambilan informan menggunakan teknik
Purposive Sampling, menurut Pasolong (2012, 108) teknik ini merupakan teknik
penarikan sampel yang digunakan dengan cara sengaja atau menunjuk langsung
kepada orang yang dianggap dapat mewakili karakteristik-karakteristik populasi.
Pertimbangan peneliti menggunakan teknik purposive sampling ini yaitu pemilihan
pastisipan yang dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan akan
memudahkan peneliti menjelajahi objek penelitian.
C. Instrumen
Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrument etnografer, etnografer adalah
orang yang melakukan penelitian, menggali informasi dari informan dan tinggal
dilapangan bersama subjek penelitian untuk mengumpulkan semua data dan
menuliskannya dalam sebuah tulisan etnografi. Emzir (2011) mengatakan bahwa
penelitian etnografi menggunakan tiga macam pengumpulan data: wawancara,
observasi, dan dokumen.
Seorang etnografer mencari informan kunci, yaitu individu yang mampu
memberikan pandangan yang berguna tentang kelompok.
D. Prosedur
Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan melalui beberapa cara, yaitu : sebagai berikut :
Pengumpulan Data Primer
Data
Primer adalah data yang berasal dari sumber asli atau pertama. Data ini tidak
tersedia dalam bentuk terkompilasi ataupun dalam bentuk file-file. Data ini
harus dicari melalui narasumber atau responden, yaitu orang yang dijadikan
objek penelitian atau orang yang kita jadikan sebagai sumber mendapatkan
informasi ataupun data (Jonathan Sarwono, 2006;129)
Wawancara
Wawancara, adalah
percakapan dengan maksud tertentu. Dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang
memberikan jawaban. Bertujuan mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian,
organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain.
Dalam
penelitian ini teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tak berstruktur,
yaitu wawancara bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang
telah disusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan data. Pedoman
wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan
ditanyakan, Sugiyono (2011; 234)
Observasi
Observasi non partisipatif (pasif), pada observasi non partisipatif ini peneliti tidak
ikut terlibat dalam kegiatan observer tetapi hanya melakukan pengamatan secara
sepintas pada saat tertentu observer melakukan kegiatan.
Pengumpulan
data melalui data pengamatan atau observasi dilakukan untuk mendapatkan
informasi yang dapat melengkapi data wawancara
yaitu dengan melihat kondisi pada LPSE
Kabupaten Nunukan
Pengumpulan
Data Sekunder
Data
sekunder merupakan merupakan data yang sudah tersedia sehingga kita tinggal
mencari dan mengumpulkan (Jonathan Sarwono, 2006; 123). Data sekunder yaitu
data yang diperoleh dari lembaga atau instansi tertentu. Data sekunder
merupakan data yang sudah diolah oleh pihak lembaga atau institusi tertentu,
seperti data profil serta tugas pokok
dan fungsi di LPSE Kabupaten Nunukan.
Dokumentasi,
merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan menelaah dokumen, arsip, maupun referensi yang mempunyai relevansi
dengan tema penelitian.
E. Metode dan
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian dilakukan melalui tiga
tahapan, yang meliputi :
1.
Reduksi Data,
dalam mereduksi data dilakukan proses pemilihan, merangkum, pemusatan
perhatian, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan penyederhanaan data. Data
yang diperoleh dilapangan jumlahnya sangat banyak dan kompleks, sehingga
diperlukan reduksi data. Hanya data-data yang relevan dengan tujuan penelitian
yang diambil, data dirangkum dan dipilih yang pokok-pokok saja, difokuskan pada
data-data yang penting. Kemudian dicari tema dan polanya. Dengan mereduksi data
akan memberikan gambaran yang lebih jelas, sehingga mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya.
2.
Penyajian Data,
setelah data direduksi, maka data selanjutnya disajikan, melalui penyajian
data, data akan terorganisir dengan baik, tersusun pola hubungn sehingga mudah
dipahami. Penyajian data dalam bentuk teks yang naratif. Penyajian berbentuk
teks dan bersifat naratif merupakan salah satu cirri penelitian kualitatif.
3.
Penarikan
kesimpulan dan Verifikasi, peneliti sebagai instrument kunci penelitian
melakukan interpretasi secara rasional atas data empiris yang dikumpulkan yang
dikategorikan secara sistematis. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara dan mungkin berubah bila ditemukan bukti-bukti data yang
mendukung.
Verifikasi
dilakukan atas informasi lisan maupun dokumentasi. Proses refleksi dilakukan
untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan utuh atas ucapan dan makna dibalik
ucapan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan hubungan kausal
atau interaksi yang disajikan dalam bentuk deskripsi. Untuk menjaga kebenaran
dan kehandalan data dalam penelitian ini, peneliti akan memperhatikan
indeksikalitas dan refleksikalitas yang merupakan konsep penting dalam
penelitian sosial secara kualitatif. Indeksikalitas berhubungan dengan upaya
mengkaitkan makna kata, perilaku, dan hal lainnya sesuai dengan konteksnya,
sementara refleksikalitas berkaitan dengan upay penataan hubungan antar suatu
peristiwa atau fenomena dengan peristiwa atau fenomena lainnya (Miles dan
Huberman, 2009).
F. Lokasi dan
Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Layanan Pengadaan
Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Nunukan yang berada di jalan Sei Jepun
Kantor Bupati Nunukan Lantai IV Bagian Pembangunan Sekretariat Daerah Kab. Nunukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Faried.
2011. Teori dan Konsep Administrasi: Dari Pemikiran Paradigmatik Menuju
Redefinisi. Jakarta; Rajawali Pers.
Arikunto,
Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta; Rineka
Cipta.
Azwar, Saifuddin.
2005. Metode Penelitian. Yogyakarta; Pustaka Pelajar
Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Metodologi
Penelitian dan teknik penyusunan Skripsi. Jakarta; Rineka Cipta.
Ibrahim, Amin. 2008. Teori dan Konsep
Pelayanan Publik Serta Implementasinya . Bandung; Mandar Maju.
Irawan, Prasetya. 2012. Materi Pokok
Metodologi Penelitian Administrasi. Tangerang Selatan; Universitas terbuka.
Miftah Thoha. 2010. Ilmu Administrasi Publik
Kontemporer. Jakarta; Kencana
Moenir. 2006. Manajemen Pelayanan Umum
di Indonesia. Jakarta; Bumi Aksara.
Mutiarin, Dyah.
Zaenudin, Arif. 2014. Manajemen Birokrasi dan Kebijakan; Penelusuran Konsep dan
Teori. Yogyakarta; Pustaka Pelajar
Nugroho, Riant.
2013. Metode Penelitian Kebijakan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Nugroho, Riant.
2014. Kebijakan Publik; di Negara-negara Berkembang. Yogyakarta; Pustaka
Pelajar.
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode
Penelitian Kuatitatif dan Kualitatif. Yogyakarta; Graha Ilmu.
Sinambela. 2008. Reformasi Pelayanan
Publik. Jakarta; Bumi Aksara.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung;
Alfabeta.
Suharno. 2013.
Dasar-dasar Kebiajakan Publik; Kajian proses dan
Analisis Kebijakan. Yogyakarta; Penerbit Ombak.
Dokumen
Perundang-undangan
Undang-undang nomor 11
tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE).
Undang-undang nomor 25 tahun 2009
tentang Pelayanan Publik.
Peraturan Presiden nomor 54
tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden nomor 70
tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua atas Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden nomor 4
tahun 2015 tentang Perubahan
Keempat atas Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Nama saya Siti Maria, dari Indonesia.
BalasHapusSaya menghubungi Ibu RIKA ANDERSON LOAN INVESTMENT untuk pinjaman bisnis tanpa jaminan sebesar $10,000 Kemudian saya diberitahu tentang langkah menyetujui jumlah pinjaman yang saya minta.
Setelah mengambil risiko lagi karena saya begitu putus asa untuk mendirikan bisnis yang sangat mengejutkan saya, jumlah pinjaman disetujui dan dikreditkan ke rekening bank saya dalam waktu 7 jam perbankan tanpa stres untuk mendapatkan pinjaman saya.
Saya terkejut karena saya adalah korban penipuan pertama! Jika Anda tertarik untuk mengamankan jumlah pinjaman tanpa jaminan & Anda berada di negara mana pun, saya akan menyarankan Anda untuk menghubungi PERUSAHAAN INVESTASI PINJAMAN RIKA ANDERSON melalui
Situs web: www.rikaandersonloancompany.com
Email: support@rikaandersonloancompany.com
Email rikaandersonloancompany@gmail.com
untuk pertanyaan dan penjelasan
www.wasap.my/+19295260086/RikaAndersonloancompany
Whatsapp: +1(929)526-0086
WA: +6285854125084
Siti: mariasity62@gmail.com