PROPOSAL PENELITIAN IMPLEMENTASI E-PROCUREMENT DI PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Era demokrasi saat ini menjadikan proses partisipasi masyarakat sebagai tolok ukur bagi pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan. konsep Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan cita-cita dan harapan bangsa Indonesia. Governance menunjukkan suatu proses ketika rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi, dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan  kohesi, integrasi, dan kesejahteraan rakyat. Upaya Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan good governance, harus melibatkan sektor swasta dan masyarakat. 
Tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance dan clean Government) adalah seluruh aspek yang terkait dengan kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan yang dimiliki Pemerintah dalam menjalankan fungsinya melalui institusi formal dan informal. Untuk melaksanakan prinsip good governance dan clean government, maka Pemerintah harus melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara efisien, serta mewujudkannya dengan tindakan dan peraturan yang baik dan tidak berpihak (independen), serta menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, profesional dan akuntabel.
Peningkatan kualitas pelayanan publik melalui penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, perlu didukung dengan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan keuangan negara/daerah yang dibelanjakan melalui proses pengadaan barang/jasa pemerintah, diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas serta prinsip persaingan /kompetisi yang sehat dalam proses pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat.
Percepatan pelaksanaan pembangunan yang menjadi tanggungjawab Pemerintah perlu didukung oleh percepatan pelaksanaan belanja, baik belanja negara maupun belanja daerah, yang dilaksanakan melalui pengadaan barang/jasa Pemerintah. Namun dalam pelaksanan pengadaan barang/jasa kadang kala ditemukan kendala yang disebabkan oleh beberapa hal, antar lain ; perencanaan pengadaan barang/jasa yang kurang baik, pengesahan anggaran terlambat, tidak segera dilaksanakannya pengumuman pelaksanaan pemilihan penyadia, hingga belum meratanya kompetensi dari pengelola pengadaan.
Berbagai usaha dan inovasi telah dilakukan untuk mencari model yang lebih efektif dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance), salahsatunya dengan cara melakukan segala kegiatan pemerintahan ataupun pelayanan publik melalui pemanfaatan teknologi informasi atau electronic government (e-government).
Kendala dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah salah satunya dapat diatasi dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pelaksanaannya. Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang efisien dan efektif merupakan salah satu bagian yang penting dalam rangka peningkatan proses pengelolaan keuangan Negara yang merupakan bagian dari implementasi good governance Salah satu perwujudannya adalah dengan pelaksanaan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik, yaitu pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pemanfaatan teknologi informasi selain bertujuan untuk memperingan beban pengelola pengadaan barang/jasa pemerintah juga bertujuan untuk tetap menjaga sisi akuntabilitas dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa Pemerintah.
Filosofi mendasar penerapan e-procurement adalah untuk mengubah kegiatan, dari kegiatan klerikal atau administrasi teknis operasional menjadi kegiatan bersifat manejerial yang lebih profesional. Seiring dinamika reformasi dan tuntutan keterbukaan/transparnsi serta kepemerintahan yang baik dan bersih. Pengadaan barang/jasa Pemerintah yang melibatkan pemerintah sebagai pengguna barang/jasa, pihak swasta sebagai penyedia barang/jasa dan masyarakat sebagai penerima manfaat merupakan perwujudan nyat dari penerapan Good Governance.
E-procurement merupakan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilakukan secara elektronik terutama berbasis web atau internet. Instrument ini memanfaatkan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi meliputi pelelangan secara elekrtonik yang diselenggarakan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Kebijakan implementasi e-procurement dilakukan dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk mewujudkan good governance melalui pengadaan barang dan jasa yang efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel yang merupakan penerapan prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa. Efektifitas pengadaan barang/jasa di Indonesia. Hal ini juga berkorelasi terhadap peningkatan dan efisiensi pengelolaan anggaran terkait dengan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah mengingat kurang lebih 30% dari alokasi anggaran pemerintah setiap tahunnya adalah untuk kegiatan barang dan jasa.
Pemberlakuan Peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah termasuk perubahannya, yang merupakan penyempurnaan dari peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah sebelumnya, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang pengadaan barang/jasa, yang efisien, terbuka dan kompetitif yang diharapkan ketersediaan barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas.   
Dengan menerapkan prinsip-prinsip pengadaan efisien, efektif, transparan, keterbukaan, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengadaan barang/jasa, karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dari segi administrasi, teknis dan keuangan.
a.       Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas maksimum;
b.      Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya;
c.       Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya;
d.      Terbuka, berarti pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas;
e.       Bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam pengadaan barang/jasa;
f.       Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap  memperhatikan kepentingan nasional;
g.      Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Di Kabupaten Nunukan pengadaan secara elektronik mulai dilaksanakan berdasarkan surat keputusan bupati pada tahun  2011 tentang Pembentukan Tim operasional Layanan Pengadaan Secara Elektronik Kabupaten Nunukan Tahun Anggaran 2011, tujuan dari pembentukan tim tersebut adalah untuk menciptakan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik di Kabupaten Nunukan yang efektif dan efisien yang merupakan salah satu bagian penting dalam perbaikan dan pengelolaan keuangan.
Dalam pelaksanaan operasional layanan pengadaan secara elektronik di Kabupaten Nunukan ditahun 2015, dilaksanakan penyusunan program pengelolaan e-procurement dilingkungan Pemerintah Kabupaten Nunukan dan melakukan ketatausahaan, evaluasi dan pelaporan pengadaan barang/jasa secara elektronik
Berdasarkan pada uraian-uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih mendalam mengenai “Implementasi e-procurement di Pemerintah Kabupaten Nunukan”.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang seperti yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : “Bagaimana Implementasi e-Procurement di Pemerintah Kabupaten Nunukan?”

C.    Tujuan Penelitian

a)      Untuk mengetahui kondisi implementasi e-procurement di Kabupaten Nunukan;
b)      Untuk mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat pada implementasi e-procurement di Kabupaten Nunukan.

D.    Kegunaan Penelitian
a.      Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan menambah pemahaman dan sebagai bahan referensi dalam penelititan selanjutnya tentang implementasi e-procurement di Pemerintah Kabupaten Nunukan.


b.      Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memperbaiki dan pengembangan kebijakan pelaksanaan e-procurement di Pemerintah Kabupaten Nunukan
.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian yang telah dilakukan lebih dahulu oleh peneliti lain, dan memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, antara lain :
1.      Penelitian yang dilakukan oleh Sri Eti wahyuningsih, Wijaya Kusuma dan Martoyo, pada tahun 2013 dengan judul : Implementasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah pada Kantor Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak, Masyarakat dan Keluarga Berencana (BP2AMKB) Provinsi Kalimantan Barat. Di Magister Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak.
   Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan masih belum optimal dikarenakan belum terelisasinya pelaksanaan pengadaan sesuai jadwal yang telah ditentukan pelaksanaannya, kurangnya pemahaman stakeholders terhadap Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa Pemerintah.
   Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengkaji, mengetahui dan mengalisa untuk mengetahui faktor pendukung dan factor penghambat pada implementasi e-procurement berdasarkan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010.
   Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, waktu dan lokasi penelitian serta Sri Eti Wahyuningsih dkk, hanya membatasi pada subjek pengadaan langsung dan tidak meneliti mengenai e-procurement.    
2.      Penelitian yang dilakukan oleh Ndikron, Margaretha Suryaningsih, dan R. Slamet Santoso dengan judul : Implementasi E-procurement  di Universitas Diponegoro. Di Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
            Hasil penelitian menunjukkan kondisi implementasi e-procurement di lokus belum sepenuhnya berjalan dengan baik, walaupun sudah menerapkan aturan mengenai penyelenggaraan e-procurement. Diakibatkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman dari penyedia jasa mengenai pihak-pihak yang menjadi implementator dalam kebijakan e-procurement, banyaknya kendala dalam penerapan program kebijakan e-procurement seperti server error, gangguan internet.  Publik dan masyarakat masih banyak belum mengerti dan acuh terhadap kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Dan belum maksimalnya kesiapan stakeholders, baik dari penyedia jasa, masyarakat, dan implementator mengenai perangkat pendukung seperti infrastruktur.
            Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengkaji, mengetahui dan mengalisa untuk mengetahui faktor pendukung dan factor penghambat pada implementasi e-procurement berdasarkan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010. Menggunakan teori implementasi kebijakan yang sama dan teori model George C. Edward III.
            Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, waktu dan lokasi penelitian.
3.      Penelitian yang dilakukan oleh Arindra Rossita Arum Nurchana, Bambang Santoso Haryono, Romula Adiono dengan judul : Efektivitas E-procurement dalam Pengadaan Barang/Jasa (Studi terhadap Penerapan E-procurement dalam Pengadaan Barang/Jasa di Kabupaten Bojonegoro. Di Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan e-procurement dalam pengadaan barang/jasa di lokus dapat dikatakan kurang efektif dikarenakan terdapat satu tujuan yang belum tercapai secara maksimal, yaitu peningkatan persaingan usaha yang sehat.     
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengkaji, mengetahui dan mengalisa untuk mengetahui faktor pendukung dan factor penghambat pada implementasi e-procurement berdasarkan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010.
            Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, waktu dan lokasi penelitian serta membahas mengenai efektifitas pengadaan barang/jasa dan tidak meneliti mengenai implementasi e-procurement.
4.      Penelitan yang dilakukan oleh Kadek Lori Pramasari dengan judul : Penerapan system e-procurement dalam Tata Kelola Pengadaan Barang dan Jasa (Studi Kasus ; Badan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Denpasar) di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Udayana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan sistem elektronik procurement di lokus merupakan suatu upaya untuk mewujudkan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang lebih efisien dan transparan, serta untuk mencegah korupsi.    
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah implementasi e-procurement berdasarkan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010.
            Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, waktu, teori yang digunakan dan lokasi penelitian serta penelitian dilaksanakan untuk mengetahui manfaat dan kendala e-procurement.
5.      Penelitian yang dilakukan oleh Farisa Noviyanti dengan judul : Peran LPSE dalam Peningkatan Efisiensi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di SDDIV Akuntansi Kurikulum Khusus, Sekolah Tinggi Administrasi Negara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diterapkan melalui pengadaan secara elektronik terbukti mampu mengeliminir tantangan dalam bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah. Aplikasi pelelangan elektronik memberikan kemudahan bagi penyedia untuk memantau paket-paket yang akan ditenderkan. Perkembangan pesat e-procurement kedepan dapat mewujudkan reformasi pengadaan, perbaikan tata kelola pemerintahan yang profesional dibidang pengadaan        
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengkaji, mengetahui dan mengalisa peran dan implementasi e-procurement berdasarkan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010.
            Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, waktu dan lokasi penelitian serta teori yang digunakan.

B.  Kajian Teori
a. Implementasi Kebijakan
Penelitian tentang implementasi kebijakan adalah penelitian tentang bagaimana suatu kebijakan diterapkan. Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Implementasi kebijakan yang telah melalui tahap rekomendasi merupakan prosedur yang relatif kompleks, sehingga tidak selalu ada jaminan bahwa kebijakan tersebut akan berhasil dalam penerapannya. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat terkait dengan beberapa aspek, diantaranya; pertimbangan para pembuat kebijakan, komitmen dan konsistensi para pelaksana kebijakan, dan perilaku sasaran.
Menurut Riant Nugroho (2014, 240) kebijakan  publik adalah titik temu kepentingan dua pelaku yaitu Negara dan masyarakat. Untuk menilai implementasi kebijakan publik, hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai prinsip-prinsip dasar bagi implementasi kebijakan yang efektif. Riant Nugroho (2011:650) mengemukakan bahwa pada dasarnya ada “lima tepat” yang perlu dipenuhi dalam  hal keefektifan implementasi kebijakan, meliputi :
1.      Ketepatan Kebijakan, merupakan jawaban dari pertanyaan “seberapa bagus kebijakan”. Ketepatan kebijakan  yang dinilai dengan seberapa banyak masalah yang ada dalam kebijakan yang perlu diselesaikan.
2.      Ketepatan Pelaksanaan atau ketepatan pengimplementasi, dengan berdasarkan empat kategori pengimplementasi kebijakan; Pemerintah sendiri, pemerintah sebagai aktor yang dominan dan masyarakat sebagai partner minoritas, pemerintah sebagai minoritas dan masyarakat sebagai aktor dominan dan masyarakat sendiri.  
3.      Ketepatan Target, target kebijakan yang tepat membahas tiga isu yang relevan; apakah target sesuai dengan target dalam kebijakan yang direncanakan? Apakah ada tumpang tindih target? Dan konflik dengan target kebijakan lain?
4.      Ketepatan lingkungan, ada dua lingkungan yang menentukan; pertama adalah lingkungan dimana ada interaksi antara institusi perumus kebijakan dan pengimplementasi. Lingkungan kedua adalah lingkungan eksternal kebijakan yang disebutkan Calista dalam Riant Nugroho (2014, 242) sebagai variabel eksogen yang terdiri dari opini publik; persepsi publik terhadap kebijakan dan implementasinya,; intuisi interpretasi-interpretasi lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok kepentingan terhadap kebijakan dan implementasinya; serta individu-individu tertentu yang mempunyai nperan dan strategis untuk menginterpretasikan kebijakan dan implementasinya.
5.      Ketepatan Keputusan, pada umumnya implementasi kebijakan meliputi tiga langkah; 1) penerimaan kebijakan; 2) adopsi kebijakan; dan 3) kesiapan strategis.

b.   Model Teori George C. Edward III
George C. Edward III dalam Riant Nugroho (2014, 225), mencatat bahwa isu utama kebijakan publik adalah kurangnya perhatian kepada implementasi kebijakan publik. Dinyatakan dengan tegas bahwa tanpa implementasi yang efektif, keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilakukan.
Pada model implementasi George C. Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel kritis sebagai faktor penentu keberhasilan suatu implementasi, yaitu; Komunikasi, Sumber daya, Disposisi (sikap kecenderungan) , dan Struktur Birokrasi.
Adapun secara terperinci Edwards III dalam Dyah Mutiarin dkk, (2014, 38) menjelaskan keempat faktor tersebut sebagai berikut :
1.      Komunikasi adalah hal bagaimana kebijakan dikomunikasikan kepada publik untuk memperoleh respon dari berbagai pihak-pihak yang terlibat. Agar implementasi dapat efektif, penanggungjawab implementasi sebuah keputusan harus mengetahui apa yang mesti dilakukan, perintah untuk mengimplementasikan kebijakan harus disampaikan kepada personal yang tepat dan perintah harus jelas, akurat, dan konsisten.
Untuk menjamin keberhasilan implementasi kebijakan, pelaksana harus mengetahui apa yang harus dilakukannya berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Juga kelompok sasaran kebijakan harus diinformasikan mengenai apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan. Berguna untuk menghindari adanya resitensi dari kelompok sasaran. Dengan demikian untuk kepentingan tersebut perlu dilakukan sosialisasi dalam berbagai cara, diantaranya; melalui media cetak ataupun media elektronik.
Dalam komunikasi terdapat tiga aspek utama, yaitu; transmisi (transmission), kejelasan (clarity), dan konsistensi.
2.      Sumber daya adalah menyangkut ketersediaan yang cukup, khususnya kompetensi sumber daya manusia dan kapabilitas untuk melakukan kebijakan secara efektif. Implementasi kebijakan tidak akan efektif apabila para implementor kekurangan sumber daya yang penting untuk melaksanakan kebijakan. Edwards III dalam Dyah Mutiarin dkk (2014, 40) menyampaikan bahwa perintah implementasi mungkin ditransmisikan secara tepat, jelas dan konsisten, namun jika kekurangan sumber daya maka biasanya implementasi tidak efektif.
Tanpa sumber daya yang memadai, implementasi kebijakan tidak akan berjalan secara optimal. Sumber daya sebagai pendukung implementasi kebijakan dapat berwujud sumber daya manusia yakni kompetensi implementor, dan sumber daya finansial. Sumber daya yang penting untuk implementasi kebijakan meliputi staf dengan jumlah yang sesuai dengan keahlian yang memadai dan relevan dengan implementasi kebijakan, kewenangan dan fasilitas. 
3.      Disposisi  yang dimaksud adalah menyangkut watak, dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis, dsb. Dalam hal ini kesediaan aktor untuk melakukan implementasi kebijakan. Disposisi adalah mengenai komitmen, lebih dari kompetensi dan kapabilitas. Jika para actor pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan, maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian juga sebaliknya apabila sikap-sikap dan perspektif implementor berbeda dari pembuatan keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit.
Disposisi yang dimiliki oleh implementor menjadi salah satu variabel penting dalam implementasi kebijakan.
Beberapa kebijakan masuk ke dalam zone of indifference dari para administrator. Kebijakan-kebijakan tersebut mungkin merupakan konflik dengan pandangan kebijakan substansi implementor atau kepentingan pribadi/organisasinya. Dalam hal inilah disposisi menimbulkan hambatan implementasi.
Kecenderungan – kecenderungan mungkin menghalangi   implementasi kebijakan bila implementor benar-benar tak setuju dengan substansi suatu kebijakan. Unit-unit birokrasi yang berbeda mungkin mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda mengenai kebijakan. Ketidaksepakatan dalam dan antara badan-badan menghalangi kerjasama dan menghambat implementasi dalam suatu bidang kebijakan. Masing-masing badan terkait mungkin memiliki prioritas–prioritas yang berbeda, komitmen yang berbeda, dan cara penanggulangan masalah yang berbeda Edwars III dalam Dyah Mutiarin dkk (2014, 42).
4.      Struktur birokrasi, birokrasi merupakan struktur organisasi yang bertugas untuk mengimplementasikan kebijakan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap implementasi kebijakan. Dalam hal tantangan agar tidak menjadi fragmentasi birokrasi, karena menurunkan efektifitas implementasi kebijakan. Menurut Edwards III dalam Dyah Mutiarin dkk (2014, 24) struktur yang tepat dapat memberikan dukungan kuat terhadap kelancaran implementasi kebijakan. Terdapat dua hal penting dalam struktur birokrasi yaitu prosedur-prosedur kerja standar (Standard operating procedures) dan fragmentasi (fragmentation).
a.       Standard Operating Procedures (SOP), SOP dikembangkan sebagai respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk situasi tipikal di masa lalu mungkin menghambat perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan situasi atau program baru.  SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru  atau tipe-tipe personal baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara rutin dari suatu organisasi, semakin besar probabilitas SOP dapat menghambat implementasi. Meskipun SOP dapat menyebabkan masalah-masalah implementasi, manun SOP juga memiliki kegunaan. Organisasi-organisasi dengan prosedur perencanaan yang fleksibel dan control yang memadai atas program-program fleksibel dapat lebih beradaptasi terhadap tanggung jawab baru daripada birokrasi tanpa karakteristik seperti ini Edwards III dalam Dyah Mutiarin dkk (2014, 43).
b.      Fragmentasi, berasal dari tekanan – tekanan di luar unit – unit  birokrasi, seperti komisi – komisi  legislatif, kelompok kepentingan, pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan, dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi publik.
Edwards III dalam Dyah Mutiarin dkk (2014, 43) menyatakan fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi. Semakin banyak aktor-aktor dan badan-badan yang terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan implementasi. Menurut Edwards III dalam Dyah Mutiarin dkk (2014,44) fragmentasi berimplikasi terhadap definisi tanggung jawab, dan hal ini akan membuat koordinasi kebijakan menjadi sulit. Sumber-sumber dan kewenangan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah secara komprehensif seringkali terdistribusi di antara banyak unit-unit birokrasi. Semakin koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin kecil peluang untuk berhasil.
Faktor-faktor tersebut disamping secara langsung mempengaruhi implementasi, secara tidak langsung mereka juga mempengaruhi implementasi melalui dampak/pengaruh satu terhadap lainnya.

c.       E-procurement
Pada prinsipnya pengadaan barang/jasa pemerintah adalah proses yang dilakukan pemerintah untuk mendapatkan barang/jasa dengan institusi publik secara transparan, efisien, efektif, adil, terbuka, bersaing dan akuntabel sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya yang diperuntukkan bagi publik dan masyarakat atau kelompok masyarakat.
Semua pengadaan yang sumber dananya dari pemerintah, baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah yang dibebankan pada APBN atau APBD , pinjaman atau hibah dalam negeri, dan  pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) dikategorikan pengadaan pemerintah yang seluruh kegiatan dan proses pengadaannya haru mengacu dan mengikuti Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya.
  
Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik atau E-Procurement adalah pengadaan barang/jasa yang mengikuti ketentuan Peraturan Presiden tentang pengadaan barang/jasa Pemerintah dan dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik digunakan sebagai alat yang secara signifikan dapat mengurangi biaya dalam proses pengadaan. E-procurement bertujuan merampingkan proses pembelian dengan menghilangkan paper based. Penerapan e-procurement disektor publik pada awalnya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi organisasi publik. E-procurement pada gilirannya juga dapat diharapkan dapat membangun pasar nasional berbasis internet (oliviera dan Amorin, 2001), namun aplikasi e-procurement dalam pemerintahan selain untuk efisiensi, juga ditujukan untuk meningkatkan efektivitas, keadilan, transparansi, dan kesetaraan. E-procurement didefinisikan antara lain :
1.      Menurut Kantor Manajemen informasi Pemerintah Australia (Australian Government Information Management, AGIMO):
“e-procurement merupakan pembelian antar-bisnis (business to business, B2B) dan penjualan barang dan jasa melalui internet”
2.      Menurut Wikipedia :
“e-procurement merupakan pembelian antar-bisnis (business to business, B2B) dan penjualan barang dan jasa melalui internet maupun system-sistem informasi dan jaringan lain.
Awal mula penerapan e-procurement di Indonesia diinisiasi dalam Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 bahwa setaip instansi mulai diperbolehkan menggunakan teknologi informasi dalam pengadaan. Selanjutnya pada tahun 2004, melalui Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian diperintahkan melakukan ujicoba pelaksanaan e-procurement untuk kemudian dipergunakan bersama instansi pemerintah lainnya.
Pada tahun dikeluarkan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang lebih menekankan penggunaan pengadaan secara elektronik yang dibahas secara khusus pada BAB XIII Pengadaan secara Elektronik. Didalamya memuat ketentuan umum pengadaan secara elektronik, yaitu pengadaan dapat dilakukan secara elektronik dengan cara E-tendering atau E-purchasing.
E-Tendering adalah tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan cara menyampaikan 1 (satu) kali penawaran dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan E-Purchasing adalah tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik, yang menggunakan aplikasi SPSE yaitu aplikasi perangkat lunak sistem pengadaan secara elektronik (SPSE) berbasis web yang terpasang di server Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang dapat diakses melalui website layanan pengadaan secara elektronik untuk pelaksanaan e-purchasing.
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara elektronik atau e-procurement bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas; meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat; memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan; mendukung proses monitoring dan audit; dan memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time.
Kemudian dibentuk suatu lembaga baru yaitu Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah disingkat LKPP yang bertugas untuk mengembangkan Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik. LKPP menetapkan arsitektur sistem informasi yang mendukung penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secar elektronik.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah Lembaga Pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden nomor 106 tahun 2007 tentang lembaga Kebijakan pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pelaksanaan E-tendering mempunyai ruang lingkup meliputi pengumuman pengadaan barang/jasa sampai dengan pengumuman pemenang. E-tendering dilaksanakan dengan menggunakan sistem pengadaan secara elektronik yang diselenggarakan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Aplikasi e-tendering sekurang-kurangnya memenuhi unsur perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan kerahasiaan dalam pertukaran dokumen, serta tersedianya sistem keamanandalam penyimpanan dokumen elektronik yang menjamin dokumen elektronik tersebut hanya dapat dibaca pada waktu yang telah ditentukan.
Sistem e-tendering yang diselenggarakan oleh LPSE wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.       Mengacu pada standar yang meliputi interoperabilitas dan integrasi dengan sistem Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik;
b.      Mengacu pada standar proses pengadaan secara elektronik; dan
c.       Tidak terikat pada lisensi tertentu (free lincensi).
Penggunaan E-purchasing dilakukan dengan sistem katalog elektronik (e-catalogue) yang sekuirang-kurangnya memuat informasi teknis dan harga barang/jasa. Sistem katalog ini juga diselenggarakan oleh LKPP.
Katalog elektronik atau E-Catalogue adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa Pemerintah.
Berdasarkan surat edaran Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia (LKPP) tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui E-Purchasing, dijelaskan bahwa Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi Wajib melakukan e-purchasing terhadap barang/jasa yang sudah dimuat dalam sistem.
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) merupakan unit kerja yang dibentuk oleh Kementerian/Lembaga/Daerah/Instansi (K/L/D/I) untuk menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik (SPSE) dan memfasilitasi Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi kepada Portal Pengadaan Nasional.
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota diwajibkan untuk membentuk 1 (satu) LPSE untuk memfasilitasi ULP dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Setiap LPSE wajib menyusun dan melaksanakan standar prosedur operasional seerta menandatangani kesepakatan tingkat pelayanan (service level agreement) dengan LKPP sebagi induk dari pengadaan elektronikdi Indonesia sekaligus merupakan standar baku pelayanan kepada masyarakat.
LPSE mempunyai tugas meliputi :
d.      Memfasilitasi PA/KPA mengumumkan rencana umum pengadaan;
e.       Memfasilitasi ULP menayangkan pengumuman pelaksanaan pengadaan;
f.       Memfasilitasi ULP/Pejabata Pengadaan melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa secara elektronik;
g.      Memfasilitsasi penyedia barang/jasa dan pihak-pihak yang berkepentingan menjadi pengguna SPSE;
h.      Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan K/L/D/I.
LPSE juga melaksanakan fungsi meliputi :
a.       Penyusunan program kegiatan, ketatausahaan, evaluasi dan pelaporan pengelolaan pengadaan barang/jasa secara elektronik dilingkungan K/L/D/I;
b.      Pengelolaan SPESE dan infrastrukturnya;
c.       Pelaksanaan registrasi dan verifikasi pengguna SPSE;
d.      Pelaksanaan pelayanan pelatihan dan dukungan teknis pengopeerasian SPSE.
Bentuk organisasi LPSE ditekankan untuk memisahkan unit kerja yang melaksanakan fungsi ULP untuk menghindari pertentangan kepentingan.
Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) adalah sistem meliputi aplikasi perangkat lunak (aplikasi SPSE) dan database E-Procurement yang dikembangkan oleh LKPP untuk digunakan oleh SPSE dan infrastrukturnya.
SPSE dikembangkan oleh LKPP bekerjasama dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Lembaga Sandi Negara mengembangkan Aplikasi Pengamanan Dokumen (APENDO). Sub sistem e-audit dikembangkan bekerjasama dengan BPKP yang memungkinkan SPSE mengeluarkan informasi detail tentang proses lelang untuk keperluan audit.
Untuk dapat mengikuti tender melalui LPSE, penyedia harus mendaftar pada masing-masing unit layanan pengadaan secara elektronik terdekat tempat penyedia berdomisili.
Penyelenggaraan pelelangan secara elektronik dilaksanakan oleh unit layanan pengadaan yang dibentuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Kepala Institusi. Jadi Unit Layanan Pengadaan (ULP) adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan pengadaan barang/jasa di Kementerian/Lembaga /Daerah /Instansi yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Pembentukan ULP merupakan kewajiban bagi setiap K/L/D/I diseluruh Indonesia untuk dapat memberikan pelayanan/pembinaan dibidang Pengadaan Barang/Jasa. 
Portal Pengadaan Nasional adalah pintu gerbang sistem informasi elektronik yang terkait dengan informasi pengadaan barang/jasa secara nasional yang dikelola oleh LKPP.




BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.    Desain Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian Kualitatif bersifat deskriptif, untuk menggambarkan kondisi implementasi e-procurement di Kabupaten Nunukan dengan mengacu pada Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/jassa Pemerintah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden nomor 35 tahun 2011, dan Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 serta Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015, Undang – Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), melalui penelitian ini akan diperoleh informasi mengenai implementasi e-procurement di Kabupaten Nunukan melalui berbagai metode seperti wawancara, pengamatan dan pemanfaatan dokumen yang diperoleh dari informan yang tersedia
B.     Sumber Informasi dan Pemilihan informan
Sumber informasi berasal dari Bagian Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Nunukan, Kepala LPSE, Kepala ULP, Sekretaris ULP, Staf LPSE, Penyedia (kontraktor), Ketua Asosiasi Pengusaha di Kabupaten Nunukan.
Dalam pengambilan informan menggunakan teknik Purposive Sampling, menurut Pasolong (2012, 108) teknik ini merupakan teknik penarikan sampel yang digunakan dengan cara sengaja atau menunjuk langsung kepada orang yang dianggap dapat mewakili karakteristik-karakteristik populasi. Pertimbangan peneliti menggunakan teknik purposive sampling ini yaitu pemilihan pastisipan yang dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan akan memudahkan peneliti menjelajahi objek penelitian.
C.    Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrument etnografer, etnografer adalah orang yang melakukan penelitian, menggali informasi dari informan dan tinggal dilapangan bersama subjek penelitian untuk mengumpulkan semua data dan menuliskannya dalam sebuah tulisan etnografi. Emzir (2011) mengatakan bahwa penelitian etnografi menggunakan tiga macam pengumpulan data: wawancara, observasi, dan dokumen.
Seorang etnografer mencari informan kunci, yaitu individu yang mampu memberikan pandangan yang berguna tentang kelompok.
D.    Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa cara, yaitu : sebagai berikut :
 Pengumpulan Data Primer
Data Primer adalah data yang berasal dari sumber asli atau pertama. Data ini tidak tersedia dalam bentuk terkompilasi ataupun dalam bentuk file-file. Data ini harus dicari melalui narasumber atau responden, yaitu orang yang dijadikan objek penelitian atau orang yang kita jadikan sebagai sumber mendapatkan informasi ataupun data (Jonathan Sarwono, 2006;129) 
Wawancara
Wawancara, adalah percakapan dengan maksud tertentu. Dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban. Bertujuan mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain.
Dalam penelitian ini teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tak berstruktur, yaitu wawancara bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan data. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan, Sugiyono (2011; 234)
Observasi
Observasi non partisipatif (pasif), pada observasi non partisipatif ini peneliti tidak ikut terlibat dalam kegiatan observer tetapi hanya melakukan pengamatan secara sepintas pada saat tertentu observer melakukan kegiatan.
Pengumpulan data melalui data pengamatan atau observasi dilakukan untuk mendapatkan informasi yang dapat melengkapi data wawancara yaitu dengan melihat kondisi pada LPSE Kabupaten Nunukan
Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder merupakan merupakan data yang sudah tersedia sehingga kita tinggal mencari dan mengumpulkan (Jonathan Sarwono, 2006; 123). Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari lembaga atau instansi tertentu. Data sekunder merupakan data yang sudah diolah oleh pihak lembaga atau institusi tertentu, seperti data profil serta tugas pokok dan fungsi di LPSE Kabupaten Nunukan.  
Dokumentasi, merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menelaah dokumen, arsip, maupun referensi yang mempunyai relevansi dengan tema penelitian.      

E.     Metode dan Analisis Data
Analisis data dalam penelitian dilakukan melalui tiga tahapan, yang meliputi :
1.      Reduksi Data, dalam mereduksi data dilakukan proses pemilihan, merangkum, pemusatan perhatian, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan penyederhanaan data. Data yang diperoleh dilapangan jumlahnya sangat banyak dan kompleks, sehingga diperlukan reduksi data. Hanya data-data yang relevan dengan tujuan penelitian yang diambil, data dirangkum dan dipilih yang pokok-pokok saja, difokuskan pada data-data yang penting. Kemudian dicari tema dan polanya. Dengan mereduksi data akan memberikan gambaran yang lebih jelas, sehingga mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
2.      Penyajian Data, setelah data direduksi, maka data selanjutnya disajikan, melalui penyajian data, data akan terorganisir dengan baik, tersusun pola hubungn sehingga mudah dipahami. Penyajian data dalam bentuk teks yang naratif. Penyajian berbentuk teks dan bersifat naratif merupakan salah satu cirri penelitian kualitatif.
3.      Penarikan kesimpulan dan Verifikasi, peneliti sebagai instrument kunci penelitian melakukan interpretasi secara rasional atas data empiris yang dikumpulkan yang dikategorikan secara sistematis. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan mungkin berubah bila ditemukan bukti-bukti data yang mendukung.
Verifikasi dilakukan atas informasi lisan maupun dokumentasi. Proses refleksi dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan utuh atas ucapan dan makna dibalik ucapan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan hubungan kausal atau interaksi yang disajikan dalam bentuk deskripsi. Untuk menjaga kebenaran dan kehandalan data dalam penelitian ini, peneliti akan memperhatikan indeksikalitas dan refleksikalitas yang merupakan konsep penting dalam penelitian sosial secara kualitatif. Indeksikalitas berhubungan dengan upaya mengkaitkan makna kata, perilaku, dan hal lainnya sesuai dengan konteksnya, sementara refleksikalitas berkaitan dengan upay penataan hubungan antar suatu peristiwa atau fenomena dengan peristiwa atau fenomena lainnya (Miles dan Huberman, 2009).

F.     Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Nunukan yang berada di jalan Sei Jepun Kantor Bupati Nunukan Lantai IV Bagian Pembangunan Sekretariat Daerah Kab.  Nunukan.





DAFTAR PUSTAKA

Ali, Faried. 2011. Teori dan Konsep Administrasi: Dari Pemikiran Paradigmatik Menuju Redefinisi. Jakarta; Rajawali Pers.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta; Rineka Cipta.

Azwar, Saifuddin. 2005. Metode Penelitian. Yogyakarta; Pustaka Pelajar

Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Metodologi Penelitian dan teknik penyusunan Skripsi. Jakarta; Rineka Cipta.
 Ibrahim, Amin. 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik Serta Implementasinya . Bandung; Mandar Maju.
 Irawan, Prasetya. 2012. Materi Pokok Metodologi Penelitian Administrasi. Tangerang Selatan; Universitas terbuka.
 Miftah Thoha. 2010. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta; Kencana
 Moenir. 2006. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta; Bumi Aksara.
 Mutiarin, Dyah. Zaenudin, Arif. 2014. Manajemen Birokrasi dan Kebijakan; Penelusuran Konsep dan Teori. Yogyakarta; Pustaka Pelajar
 Nugroho, Riant. 2013. Metode Penelitian Kebijakan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
 Nugroho, Riant. 2014. Kebijakan Publik; di Negara-negara Berkembang. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
 Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuatitatif dan Kualitatif. Yogyakarta; Graha Ilmu.
 Sinambela. 2008. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta; Bumi Aksara.
 Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung; Alfabeta.
 Suharno. 2013. Dasar-dasar Kebiajakan Publik; Kajian proses dan Analisis Kebijakan. Yogyakarta; Penerbit Ombak.

 Dokumen Perundang-undangan
Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
 Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang  Pelayanan Publik.
  Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
 Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
 Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

 


Komentar

  1. Nama saya Siti Maria, dari Indonesia.
    Saya menghubungi Ibu RIKA ANDERSON LOAN INVESTMENT untuk pinjaman bisnis tanpa jaminan sebesar $10,000 Kemudian saya diberitahu tentang langkah menyetujui jumlah pinjaman yang saya minta.

    Setelah mengambil risiko lagi karena saya begitu putus asa untuk mendirikan bisnis yang sangat mengejutkan saya, jumlah pinjaman disetujui dan dikreditkan ke rekening bank saya dalam waktu 7 jam perbankan tanpa stres untuk mendapatkan pinjaman saya.

    Saya terkejut karena saya adalah korban penipuan pertama! Jika Anda tertarik untuk mengamankan jumlah pinjaman tanpa jaminan & Anda berada di negara mana pun, saya akan menyarankan Anda untuk menghubungi PERUSAHAAN INVESTASI PINJAMAN RIKA ANDERSON melalui

    Situs web: www.rikaandersonloancompany.com
    Email: support@rikaandersonloancompany.com
    Email rikaandersonloancompany@gmail.com

    untuk pertanyaan dan penjelasan
    www.wasap.my/+19295260086/RikaAndersonloancompany
    Whatsapp: +1(929)526-0086
    WA: +6285854125084
    Siti: mariasity62@gmail.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROPOSAL PENELITIAN PELAYANAN ADMINISTRASI TERPADU KECAMATAN (PATEN) DALAM PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI KECAMATAN SEBATIK TENGAH KABUPATEN NUNUKAN

Istilah-istilah PBJ berdasarkan Perpres 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah